Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2018

(Sebelum Deadline 17) Selamat Hari Guru, Kalian Sungguh Luar Biasa!

Gambar
Besok, tanggal 25 November diperingati sebagai hari guru. Hari Guru Nasional. Bertepatan dengan hari Minggu. Kalender Merah. Libur. Tapi Bukan hari libur nasional. Tidak seperti hari buruh internasional. Tanggal 1 Mei. Kalender pasti merah. Apapun harinya. Karena sudah ditetapkan sebagai libur nasional. Terlahir dari anak seorang guru. Sudah sepatutnya saya mengucapkan selamat hari guru kepada emak. Meski sudah pensiun empat tahun lalu dari ruang kelas. Tapi rasanya predikat guru pada emak tak boleh hilang begitu saja. Sudah ribuan kepala telah menjadi muridnya. Ribuan hati telah diajarkannya. Ribuan badan telah dididiknya. Bahkan mungkin lebih. Juga kepada istriku tercinta. Kakak, bibi, paman, adik ipar. Juga kepada kakak-kakak senior, rekan-rekan seangkatan, dan adik-adik junior di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Di Jurusan Bahasa dan Seni. Di Program Studi Bahasa dan Satra Indonesia Universitas Bengkulu. Selamat hari guru. Kepada seluruh guru di Indo

(Sebelum Deadline 16) Hanya Aku yang Cocok untuk Peran Itu

Gambar
Ketika bermain peran di panggung bangsawan--semacam ketoprak humor-- aku punya mimpi besar. Mendapat peran tokoh utama. Sebagai protagonis. Ganteng, berwibawa, gagah. Orang baik, tokoh putih, penolong, dan penyelamat. Tapi sayang, peran ini selalu gagal kudapat. Selalu saja disodorkan peran lainnya. Jika tak pembantu, petani, warga miskin, ya prajurit dengan pangkat paling rendah. Pernah juga peran sebagai kakek tua yang kaya raya. Ya tapi itu, pekerjaannya sebagai rentenir dan suka menggoda istri orang dan menikahi perawan. Paling bagus ketika disodrokan sebagai panglima. Aku begitu gembira. Setidaknya sudah naik level. Setelah baca naskah ternyata seorang panglima pembrontak dan penghasut yang kemudian ditangkap dan dihukum minum racun. Juga pernah dapat peran sebagai penasihat kerajaan. Menasehati raja di ujung pertunjukan. Dapat durasi dua menit dengan dialog satu menit. Padahal durasi pementasan 145 menit tanpa iklan. Malah tetap dapat peran jongos. Tukang

(Sebelum Deadline 15) Jodoh Memang Rahasia Tuhan

Gambar
Kami, maksudnya aku dan istriku, menempuh pendidikan di kampus yang sama. Bahkan satu fakultas. Satu jurusan, dan satu program studi. Hanya beda angkatan saja. Aku angkatan 95. Istriku angkatan 98. Di kampus, kami sebatas kenal. Say hello jika bertemu. Begitupun di luar kampus. Sebatas menegur. Tak lebih. Pernah juga satu kelas. Itu karena aku terpaksa mendalami lagi beberapa mata kuliah. Jikapun harus bicara, tidak banyak. Alakadar saja. Selama di kampus. Biasa-biasa saja. Dia dengan kehidupannya. Begitu juga denganku. Dia sibuk dengan urusan kuliah. Aku juga sibuk dengan urusan ormawa, teater, dan lain sebagainya. Tapi namanya jodoh. Kami menikah. Tahun 2007. Bulan Oktober. Tanggal 20. Hari Sabtu. Pukul 10. Sudah 11 tahun lebih sebulan. Sudah punya dua bocah. Nabila dan Naufal. Soal pertemuan. Ini masih jadi perdebatan. Baik aku maupun istriku. Bahkan orang-orang dekat kami masing-masing semasa kuliah dulu. Banyak menyebut kami CLBK. Padahal jika merunut se

(Sebelum Deadline 14) Ketika Dia yang Selalu Datang Tiba-tiba

Gambar
Anugerah yang indah merantau itu adalah rindu. Akan kampung halaman. Pada Emak dan Abah. Juga pada mereka, kakak dan adik. Ketika kerinduan itu menyergap. Semua yang pernah dilakukan bersama mereka yang dirindukan bermain dalam kenangan. Itu bukan khayalan. Tapi kenyataan. Rindu. Mungkin banyak puisi yang tercipta. Banyak syair yang ditulis. Kemudian menjadi pengobat sesaat. Rindu tetap terjaga sebelum bertemu. Lelap hanya sementara. Untuk menjinakkan hati. Agar bisa berdamai di jauhnya waktu. Rindu. Datang tiba-tiba. Beranjak secara beringsut. Menyapa tiba-tiba. Lalu berusaha untuk memberi salam. Emak dan Abah. Pulang padamu adalah bermanja-manja diri. Meminta lebih. Ini dan itu. Tak ada lelah. Tak ada payah. Kau buka pintu lalu memelukku. Memintaku untuk duduk lebih lama. Agar kau puas memandangku. Sementara jarum jam di dinding tak mau menunggu. Sejenak pun tak bisa. Emak dan Abah. Pulang padamu. Adalah meminta nasihat. Juga doa. Meski tak putus bibirmu menyebu

(Sebelum Deadline 13) Hapus Nomorku di Ponselmu

Pukul setengah tiga sore. Panggilan telpon masuk. Aku angkat. Suara perempuan. Ramah menyebut namanya. Nisa. Aku bergetar. Nisa? Mesin pengingatku bekerja cepat. Mencari memori untuk menemukan kata Nisa. Belum selesai, Nisa kembali bersuara. Meminta waktu untuk bertemu. Nisa. Perempuan. Masih muda. Suaranya renyah. Akan banyak laki-laki tertarik mendengar suara dan gayanya bicara. Nisa? Ah. Mesin pencarianku gagal. Tak memberi aku apa-apa tentang kata Nisa. Aku meminta mensin untuk mengulang pencarian. Nisa kembali bersuara. Memintaku untuk dapat memerimanya. Aku terdesak. Mesin pencarian benar-benar gagal. Bahkan tak bisa bekerja lagi. "Maaf aku sedang tak bisa. Sibuk," kataku. Nisa membujukku. Ia yang akan menemuiku. Aku diminta menyebut posisi saat ini. Kali ini aku didesak. Aku tetap mengatakan tak bisa. Aku banyak pekerjaan. Nisa merayu. Dia meminta waktu hanya sepuluh menit. Sekali lagi mengatakan dia yang akan menemuiku. Aku tetap mengatakan tak

(Sebelum Deadline 12) Bersepeda Motor Pergi Malam Mingguan

Gambar
Malam Minggu sudah menjadi malam libur. Resmi. Sudah tujuh pekan. Tepatnya, semenjak permintaan digeser dikabulkan. Semenjak permintaan demosi diaminkan. Saya yang meminta. Minta diganti dan minta malam Minggu. Sebagaimana libur, tentu tak ada pekerjaan. Karena tak ada pekerjaaan, maka mencari sesuatu yang dapat dikerjakan. Seperti malam ini. Dua bocah meminta untuk diajak pergi. Dan ternyata itulah pekerjaan. Ya sudah, akhirnya berempat. Tentu dengan emaknya. Kerja malam ini adalah jalan-jalan. Mengendarai sepeda motor andalan, kami berempat mutar-mutar kota dan berhenti di warung tenda. Lapar lalu pesan makanan. Beranggotakan empat orang dengan sepeda motor. Ah, rasanya sudah sempit. Apalagi sepeda motornya seri kecil. Berdesakan. Berebut tempat. Si kakak sudah tak mau lagi duduk di depan. Sedang si bungsu maunya nempel sama emaknya. Tak Mungkin emaknya yang duduk di depan. Perlu teknik jitu untuk membujuk si bungsu agar rela duduk di depan. Kadang. Bahkan sang

(Sebelum Deadline 11) Akhirnya Punya Dispenser

Gambar
Semula aku mengira kulkas dua pintu. Setelah dibuka ternyata dispenser. Alhamdulillah akhirnya kami punya dispenser. Hadiah sebagai pemenang kedua dari lomba menulis di BKKBN Babel. Dispensernya cantik. Tinggingya sekitar 1 meter. Warna putih. Seperti dispenser biasanya. Ada panas dan ada dingin. Pelengkapnya ada 3 cangkir cantik. Juga dipermewah lemari bagian bawahnya. Tinggal taruh galon. Itu tidak masalah. Di dapur ada dua galon yang lama tak terpakai. Mungkin sudah 5 tahun. Tapi air galon di dispenser bukan sebagai sumber utama konsumai air kami. Hanya untuk pendamping. Kami tetap mengkonsumsi air sumur yang dimasak dengan kompor. Kehidupan sekarang sudah kepung oleh air kemasan dan galon. Kemana melangkah dan singgah, air dalam kemasan dan galon menyambut. Warung makan, warung kaki lima, restoran, kantor, terminal, pelabuhan, bandara, penginapan, hotel, semuanya menyuguhkan dan menyediakan air dalam kemasan dan atau air galon. Termasuk ketika ke tempat haja

(Sebelum Deadline 10) Bisa Jadi Malah Mereka yang Lebih Khusyuk

Gambar
Ah, tak perlu berteriak kepada mereka (Anak-anak) agar diam. Mereka (ternyata) bisa tertib dan memelankan suara ketika shalat. Mereka juga tak perlu berada di luar. Sebab mereka akan lebih aman jika berada di dalam. Mereka juga tahu, bahwa di masjid bukan tempat bermain. Mereka juga tahu jika berisik dan bermain-main itu tidak boleh. Mengganggu! Ah, mungkin kita saja yang terkadang lebay. Kita saja yang terlalu serius mendengar suara mereka ketimbang mendengarkan suara imam. Kita saja yang terlalu menunggu riuhnya mereka ketimbang menunggu gerakan imam selanjutnya.Kita saja terlalu khusuk pada tingkah mereka daripada khusuk pada sajadah. Kita saja terlalu mencari kesalahan mereka ketimbang memperbaiki shalat kita. Jika mereka ada yang berisik, ricuh, salah, dan mengganggu, ingatlah itu hanya oknum. sekali lagi oknum. Masih banyak mereka yang serius. Bisa jadi mereka, anak-anak itu, yang lebih ikhlas datang ke masjid daripada kita agak terpaksa karena tak enak s

(Sebelum Deadline 09) Maaf, Tak Ada Cerita Hari Ini

Gambar
Ternyata untuk konsisten itu rumit. Padahal (hanya) diminta satu hari satu. Apapun bentuknya. Bisa cerpen, puisi, essai, atau cerita rekaan. Seperti hari ini. Tak ada tulisan yang bisa dibuat. Bahkan nyaris lupa bahwa ada tugas untuk menulis. Alasan adalah sebab. Tapi tetap saja tidak konsisten. Tidak komit. Tidak profesional. Tidak andal. Kesimpulannya malas. Malas konsisten. Malas komit dan malas untuk profesional. Dan malas yang lainnya. Tapi begitulah. Jika gairah hanya di depan. Ujung-ujungnya ejakulasi di tengah. Dan lelah di akhir. Alibinya selalu pembenaran sikap. Memaklumi keadaan. Toleransi pada situasi. Memaafkan kesalahan. Kemudian menjadi dua, tiga, bahkan terus berlanjut. Itu baru satu persoalan. Padahal hidup penuh pelbagai persoalan. Hidup harus acuh.(**)

(Sebelum Deadline 08) Hujan Membuat Kami Terpaksa Mandi

Gambar
Hujan lebat turun. Setelah saling lirik. Akhirnya kami sepakat. Naufal dan saya, bapaknya. Untuk mandi hujan. Emaknya, ya hanya bisa pasrah atas keputusan ini. Emaknya kalah suara. Dua lawan satu. Satu suara lagi, Nabila, sedang tidak di rumah. Pun Nabila di rumah, aku yakin suaranya lebih condong menjadi tiga lawan satu. Jadilah kami mandi hujan selama 27 menit. Emaknya jadi penonton. Lebih tepat disebut pengawasan. Setelah jerit kedua kali dari emaknya menggema, barulah kami menepi dan berteduh. Soal hujan. Naufal memang selalu menarik tanganku untuk keluar. Bahkan terkadang dengan handuk yang sudah di tangan. "Hujan Yah," katanya penuh harap. Meski tanpa kalimat ajakan atau kalimat permintaan izin. Ucapannya terdengar renyah dan membuat gunung salju runtuh. Tak perlu harus menunggu dua kali. "Hayuuuk," ucapku membuat dia langsung berteriak yes sambil mengepalkan tangan. Ah hujan. Selalu saja membuat kami terpaksa mandi. Seperti sore ini. (*

(Sebelum Deadline 07) Ah

aku hanya punya metafora. dan kaulah yang harus menterjemahkannya. tak harus selalu benar. karena hidup adalah belajar berbuat salah. kesempatan dan momentum akan memberi ruang kepada setiap orang untuk memilih menjadi pahlawan atau pecundang.

(Sebelum Deadline 06) Andai Belok Kiri Boleh Langsung

Gambar
Banyak hal-hal tak terduga ditemui. Seperti hari ini, aku harus berhadapan dengan hujan yang ganas. Meski pakai mantel anti hujan, ternyata tak cukup membuat tubuh untuk tidak basah. Tetap saja harus kuyup hingga ke lapisan paling dalam. Tapi bukan itu persoalannya. Masalah utamanya terletak pada hujan itu sendiri yang memaki sistim dapil. Lima kilometer menjelang destinasi tujuan, hujan benar-benar berhenti. Bahkan terlihat jelas garis daerah hujan dan tidak. Ya.. saya kuyup di daerah yang kering. Dan itu benar-benar membanggakan. Yang lebih membanggakan lagi adalah tatapan gembira dari pemotor lain. Terutama di traffic light. Mandi di mana mas? Mungkin itulah yang ingin mereka sampaikan. Tapi tak berani secara langsung. Hanya lewat lirikan mata tanpa menoleh sedikitpun. Ah, andai saja belok kiri itu boleh langsung!(**)

(Sebelum Deadline 05) Jatuh Cinta pada Siapa

Rei, itu namanya. Tak ada nama panjang. Cukup tiga huruf. Sekali lagi. Hanya Rei. Rei baru dua belas tahun. Baru kelas 5 sekolah dasar. Tapi Rei merasa dia sudah dewasa. Buktinya Rei sudah merasakan apa yang orang sebut jatuh cinta. Ya Rei jatuh cinta. Tapi Rei tidak tahu pada siapa ia jatuh cinta. Apa kepada Tia. Sama Mia, Ria, atau malah kepada Nia. Rei pun belum pernah bertemu dengan nama-nama yang disebutkan tadi. Bahkan nama-nama itu meluncur saja dari bibirnya. Seperti malam ini. Saat ia sedang mengerjakan PR Matematika di kamarnya. Rei, tanpa sengaja menyebut nama-nama itu. Nama-nama yang membuat hatinya bergetar. Oh Tuhan Ku cinta Tia Ku sayang Mia Rindu Ria, Inginkan Nia Utuhkan rasa cinta di hati ku Hanya padanya, untuk.. Gubrak! Pintu kamar Rei didobrak oleh ayahnya, Anji. (**)

(Sebelum Deadline 04) Doakan agar Otak Ayahmu ini Tetap Waras

Gambar
Malam itu tiba-tiba Naufal meminta ambilkan sebuah piala dan meminta untuk difhoto. Secara tiba-tiba juga ia mengatakan agar aku, bapaknya, sering-sering ikut lomba menulis. "Biar dapat hadiah buat beli tobot," katanya sambil tersenyum. Memang ada mainan (tobot) yang dia incar. Robot yang berjumlah tiga dan bisa dirakit jadi satu. Dan itu sempat diajukan untuk dibawa pulang saat kami berada di lorong mainan anak sebuah pusat perbelanjaan. Sayang, permintaanya waktu itu harus kandas. 😚 "Nanti Abang doa biar Ayah menang," rayunya. Aku tersenyum, mengangguk. 😏 Otakku mulai berpikir dan mengingat. Ada dua lomba yang sekarang tinggal menunggu pengumuman. Dan ada satu lomba menulis yang masih membuat aku galau karena belum juga mau memulai untuk menulisnya. 😓 Sama seperti Naufal. Kakaknya, Nabila, juga meminta aku, bapaknya, hal yang sama. "Biar bisa ke Bengkulu lagi dan ke Palembang lagi," katanya. 😉 Nabila juga mengatakan selalu

(Sebelum Deadline 03) Nasi Goreng Bayar Terima Kasih

Gambar
Wedang jahe sangat tepat dinikmati saat hujan turun. Tapi bukan nasi goreng temannya. Tapi begitulah saya terpaksa menikmati wedang jahe di warung nasi goreng. Selesai dengan urusan nasi goreng ati ayam, maka wedang jahe jadi penutup. Nasi goreng hanya butuh lima menit, sedang wedang jahe butuh 15 menit. Jadilah totalnya 30 menit berteduh di warung nasi goreng. Nasi goreng Lintang. Yang punya berasal dari Gunung Kidul. Sudah lebih lima tahun berjualan nasi goreng. Murah dan enak. Lokasinya di Kacang Pedang. Tempatnya cukup nyaman. Ia belajar membuat nasi goreng dari saudaranya. Magang tiga bulan lalu membuka sendiri. Orangnya ramah. Suka guyon. Kadang-kadang galak juga sama pembeli yang permintaannya macam-macam dan mebayar dengan terima kasih. Bayar dengan terima kasih. Aku langsung tahu maksudnya. Dulu, katanya, dalam satu malam bisa dua tiga orang yang membayar dengan terima kasih. Bahkan bisa lebih. Dalam sepekan dulu dia bisa didatangi tiga kali. "

(Sebelum Deadline 02) Dan duka itu masih bartanya

Mana Ayah Mana Ibu Di mana Kakak Adik ke mana Anakku ada di mana Mengapa mereka belum tiba?

(Sebelum Deadline 01) Mereka Ingin Jadi Pilot

Anak-anak itu. Di dalam kelas. Riang dan bergembira. Mereka sedang belajar mengeja huruf dan menjumlah angka. Sesekali mereka bercanda lalu tertawa. Di depan, guru bertanya tentang cita-cita. Lalu anak-anak berseragam merah putih itu berteriak serentak: "ingin jadi pilot." Sementara, di ruang guru, televisi mengabarkan tentang pesawat yang membawa orang tua mereka telah jatuh ke laut.