Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2018

(Sebelum Dadline 28) Mari Bercerita dan Mengenang

Gambar
Ada grup baru di WA. Namanya IKAL UNIB BABEL. Anggotanya alumni dari Universitas Bengkulu (UNIB) yang berdomisili di Babel. Baik di Bangka maupun di Belitung. Sampai malam ini sudah 35 orang yang berkumpul di grup WA tersebut. Tiga belas hari yang lalu saya resmi diajak bergabung. Ternyata lumayan jumlah alumni UNIB di sini. Saya pikir cuma segelintir. Maklum posisi geografis membuat jarak Babel dan Bengkulu terasa jauh. Lebih dekat dan murah ke pulau Jawa. Semua anggota grup dijadikan admin. Mereka diberi keleluasaan untuk memasukkan anggota baru. Syaratnya adalah alumni UNIB. Terserah dari fakultas, jurusan, atau program studi apa. Juga terserah angkatan berapa. Terserah juga soal pekerjaan. Sudah bekerja atau belum, PNS, karyawan swasta atau honorer. Juga soal aktivis atau bukan semasa kuliah, perolehan IPK besar atau kecil. Bahkan tak dibuat syarat lama kuliah. Mau kuliah tepat waktu atau molor hingga semesternya mencapai belasan. Pokoknya yang bisa jadi a

(Sebelum Deadline 27) Perwira Belanda Itu Berkulit Putih

Ini video pertunjukan yang sudah lama. Naskah apa dan tahun berapa saya sudah tak ingat lagi. Hanya yang pasti, penulis dan sutradaranya adalah Agus Setiyanto Tampil di markas Komunitas Seniman Bengkulu. Beberapa rekan yang saya ingat ada Mohammad Arfani, bang Novi Aryansyah, juga bang Sigan. Ada beberapa dosen dari Universitas Bengkulu. Peran saya ya petani. Petani sial yang kena razia pasukan Belanda. Padahal sebelumnya saya meminta peran sebagai perwira pasukan Belanda. Sayang kualifikasi saya tak memenuhi syarat. "Perwira Belanda itu berwajah ganteng dan berkulit putih," kata Pak Sutradara yang sekejap kemudian seluruh mata calon pemain yang hadir memasang mata iba. Tentu ke arah saya. Saya diam. Mata saya berusaha mencari cermin terdekat. Ternyata "diskriminasi" itu sudah terjadi sejak jaman penjajahan. Juga terjadi di dunia panggung sandiwara. Hanya dunia manya yang bisa menutupi semuanya. Asal punya kamera canggih.(*)

(Sebelum Deadline 26) Bermain Ayunan dan Tagihan

Gambar
Sepertinya ayunan hanya ada di taman kanak-kanak (TK). Padahal penyuka ayunan tak mesti anak-anak. Remaja, dewasa, bahkan orang tua juga suka. Buktinya saya, setiap mengantar si bungsu ke TK, saya selalu menyempatkan diri bermainan ayunan. Mungkin sudah saatnya di SD, SMP dan SMA juga menyediakan ayunan. Bahkan di perguruan tinggi. Karena bermain ayunan dapat memberi manfaat bagi kesehatan tubuh. Dari laman suara.com , menyebutkan bermain ayunan bisa mendapatkan manfaat sehat dan bugar. Ayunan selama 60 menit katanya dapat membakar 200 kalori. Aktivitas saat berayun memungkinkan ligamen, tendon, otot panggul dan sendi bergerak. Hal yang lebih menyenangkan lagi, kita tak merasa sedang berolahraga saat berayun. Tubuh juga akan menikmatinya seperti aktivitas bermain. Selain bermanfaat bagi kesehatan fisik, bermain ayunan juga dapat memengaruhi kesehatan mental. Anda akan merasa senang ketika ayunan mengantarkan tubuh melayang di udara. Suasana hati pun menjadi l

(Sebelum Deadline 25) Kabar Gempa Lagi

Gambar
Dapat notifikasi dari aplikasi BMG. Ada gempa guncang Bengkulu, Sabtu 8 Desember 2018, pukul 11.02.10. Pada skala 5.0 SR. Pusat gempa di laut dengan kedalaman 14 km. Saya punya kecemasan sendiri dengan gempa. Dua kali peristiwa gempa besar saya alami langsung. Terakhir gempa tahun 2007. Skala 7,9 SR. Ada juga yang bilang lebih. Peristiwanya 12 September. Saat itu saya masih bertugas sebagai wartawan di Bengkulu Utara. Gempa berpusat di Lais. Salah satu kecamatan di Bengkulu Utara. Gempa terjadi sesaat sebelum azan Magrib. Saya sedang perjalanan pulang ke Bengkulu. Sungguh guncangan saat itu mengerikan. Pohon-pohon terhuyung. Kendaraan kehilangan kendali. Orang-orang panik. Rumah banyak yang hancur. Sungguh mengerikan. Termasuk kontrakan saya. Hancur. Satu malam harus tidur di luar. Kemudian satu malam di penginapan. Lalu pindah tidur di Posko selama nyaris satu pekan. Maklum belum ada rumah yang bisa dikontrak. Sebelumnya tahun 2000. Tepatnya 4 Juni 2000. Sk

(Sebelum Deadline 24) Kenapa Kau Kirim Pesan Begitu Rumit

Gambar
 Baru saja ingin terlelap. Sebuah message hinggap di ponsel. Dari seorang sahabat. Perempuan. Dua keputusan berperang. Antara ingin membuka atau ingin melanjutkan tidur. Jika dibuka pasti harus dibaca. Kemudian harus dibalas. Setelah itu akan berkelanjutan berbalas pesan. Bakal panjang. Jika melanjutkan tidur, berarti harus membawa rasa penasaran. Bakal tak bisa tidur. Kubiarkan lima menit. Keputusan membaca bersorak lebih kencang. Baiklah baca saja dan tak usah dibalas. Begitu bisiknya. Aku mengalah. Membuka kunci ponsel. --Sejatinya malam ini mau menulis. Sebuah cerpen. Dengan latar peristiwa 212. Di Monas. Tapi tak jadi diselesaikan. Khawatir jadi bumerang. Khawatir fiksi dalam cerpen itu nantinya dianggap fakta. Kemudian mencoba menulis artikel. Peristiwa reuni 212. Masih di tempat yang sama. Di Monas. Tapi tak juga jadi diselesaikan. Khawatir jadi masalah. Khawatir fakta yang ada dianggap fiksi. Bagaimana menurutmu? -- Aku yang bingung. Tak jadi ti

(Sebelum Deadline 23) Buku Puisi dan Secangkir Kopi Pahit

Gambar
Oleh-oleh hari ini adalah buku puisi. Langsung dari penulisnya. Firman Susilo. Dia Kepala Balai Bahasa Sumatera Selatan. Juga sebagai Plt Kepala Kantor Bahasa Kepulauan Bangka Belitung. Menggairahkan dunia menulis. Terutama guru. Itu inti pembicaraan dengan beliau. Semangat yang ditularkan saya pikir tidak bisa dianggap enteng. Ia sudah melakukan. Terkhusus di Sumsel. Beberapa karya guru lahir dan dibukukan. Saya jadi teringat pada Herman Suryadi di Bengkulu. Gerakan literasi yang dilakukannya sungguh luar biasa. Menjaring dan membina guru untuk menulis. Guru berkarya dan guru yang produktif. Puluhan buku guru sudah lahir. "Harus dimulai," katanya. Saya hanya mengangguk. Begitu juga rekan saya Alif. Ia mengangguk. Membayangkan bagaimana kerja esok. Tapi setidaknya program sudah dimulai. Setidaknya sudah melangkah menuju ke sana. Menggairahkan kepenulisan. Kopi sudah dibuat. Kopi tanpa gula. Pahit. Begitulah.(**)

(Sebelum Deadline 22) Panggil Abang, Jangan Adek!

Gambar
Sudah satu bulan ini si bungsu, Naufal, tak mau lagi dipanggil adek. Selalu protes. Ia meminta semua orang memanggil dengan sebutan baru, Abang. Ketika ditanya. Dia selalu menjawab. Adek itu bayi. Sekarang panggil Abang. Ya. Akhirnya kami. Aku, emaknya, dan kakaknya Nabila, harus mengikuti kemauannya. Meski kadang panggilan adek masih kerap terucap. Biasanya, Naufal langsung protes. Meminta kami meralat dan memanggil kembali dengan sebutan baru. Abang. Karena sudah 5 tahun lebih lidah ini terbiasa memanggil adek, tentu bukan perkara mudah mengganti dengan abang. Bukan hanya pada kami. Dia, Naufal, juga meralat jika dipanggil adek oleh nenek, bibi, paman. Naufal juga protes pada guru di TK, tetangga, dan orang lain. Pernah mencoba membuat kesepakatan. Bagaimana kalau dipanggil abang adek atau adek abang. Dia tetap tidak mau. Tetap meminta dipanggil abang. Naufal juga di setiap menyebut nama diri, selalu dengan abang. Tak lagi adek. Sekarang, semua orang harus

(Sebelum Deadline 21) Dua Pria Berasa Berwajah Ganteng

Gambar
Tradisi kalau lagi berdua. Pasang pose. Mulai wajah manja, muka masam, raut kocak, pesilat, pemain sinetron, galak, ramah, buser, sok dewasa, sok imut, dan wajah-wajah lainnya. Tapi kami berdua tetap sama-sama pria ganteng. Sekali lagi. Pria ganteng. Tapi, menurut survei, ganteng anaknya malah mengalahkan angka kegantengan bapaknya. Jika anak 9, maka bapaknya akan terpental jauh di angka 5. Bahkan mungkin bapaknya cuma dapat angka 3. Anaknya tahu itu. Karena fakta. Bapaknya saja yang belum bisa menerima kenyataan. Tetap ngotot bahwa mereka sama soal kegantengan. Dan menyalahkan lembaga survei yang abal-abal. Karena tak mau ribut dan membuat keutuhan keluarga retak, maka sang anak mengiyakan saja apa yang dikehendaki bapak. Lagi pula bapaknya lebih pengalaman. Ia kalah tenaga, kalah kekuasaan dan kalah dalam jejaringan. Anak hanya berdoa. Dan berharap ada kesadaran seiring waktu. Semoga ada jalan dan kesempatan yang tepat untuk mengatakan yang sesungguhnya pad

(Sebelum Deadline 20) Mandi Hujan Lagi

Gambar
Kali ini emaknya ikut. Jadinya bertiga. Sedang si Kakak, Nabila, sementara jadi tukang abadikan momen saja. Kondisi badannya kurang sehat. Maunya sih formasi lengkap, biar lebih seru. Paling semangat Naufal. Karena mandi kali ini istimewa. Ada emaknya. Mereka berdua kegirangan. Aku, bapaknya, cuma jadi pelengkap. Padahal bapaknya ini yg punya ide. Mandi hujan kali ini cukup lama. Hujan yang deras lebih mengasyikan. Tiga beranak baru mau berhenti setelah petir batuk tiga kali. Mengingatkan kami untuk segera masuk ke dalam rumah.(**)

(Sebelum Deadline 19) Nia yang Jatuh Cinta

Nia. Begitu namanya. Tak ada lanjutan. Hanya tiga huruf. Sekarang Nia telah berdiri di depanku. Memintaku untuk menemaninya. Makan siang. Berdua. Ada yang ingin ia bicarakan. Sorot matanya kali ini serius. Tidak seperti biasanya. Nia yang selalu penuh canda. Humoris dan selalu ceria. Aku jadi takut. Apakah aku ada salah berbuat. Salah dalam berkata. Ribuan pertanyaan ada di otakku. "Jangan takut. Kau hanya cukup mendengarkan saja. Aku hanya ingin melepas semua beban ini," kata Nia seakan menjawab keraguanku. Kuikuti langkah cepat Nia yang berjalan di depanku. Kantin sungguh ramai. Beruntung masih ada satu meja dengan dua kursi. Kami duduk berhadapan. Nia hanya memandangku. Kemudian menarik nafas dalam-dalam. Lalu menghembuskannya sekali hentakan. "Aku jatuh cinta padamu," kata Nia dengan suara keras. Aku kaget. Di luar dugaan. Pandangan gelap. Darah seakan berhenti mengalir. Ingin mengatakan sesuatu. Tapi aku keburu pingsan. Nia kaget. Tak

(Sebelum Deadline 18) Tahi Lalat Sebelah Kiri

Gambar
 Tahi lalat itu. Di bawah mata. Sebelah kiri. Aku dan dia. Istriku. Tak pernah berjanji. Untuk kompak memilikinya pada posisi yang nyaris sama. Tahi lalat itu. Jika di kulit yang putih dia pemanis. Jika di kulit yang hitam ya.. antonimnya. Tahi lalat itu. Pada wajah cantik jadi menarik. Pada wajah lain jadi tanda.