Mengunjungi Museum Tsunami Aceh, Merasakan Kuasa Allah atas Umat-Nya

Maket MuseumTsunami Aceh/Poto Prima 
Bencana Tsunami Aceh, 12 tahun lalu masih menyimpan duka. Itulah setidaknya ketika kita berkunjung ke Museum Tsunami yang terletak di Jantung kota Banda Aceh. Ke Museum Tsunami bukanlah sekedar wisata, namun lebih dari itu. Kita akan dibwa ke masa dimana air laut itu menghempaskan tanah rencong.

    Rabu, (23/8), Pukul 09.30 wib, Hujan belum juga menampakan tanda-tanda akan reda. Sudah dua hari ini kota Banda Aceh dilanda cuaca yang memang tak bersahabat. Namun jadwal berkunjung ke Museum Tsunami tak dibatalkan. Panitia sudah menyiapkan 5 bus untuk mengajak 200 peserta dari 8 provinsi se-Sumatera pada Pekan Bahasa untuk berkunjung ke Museum Tsunami.
    Museum Tsunami sengaja dibangun untuk mengenang bencana maha dahsyat yang menelan korban sekitar 230.000 jiwa. Peristiwa tsunami terangkum di sini. Museum ini dibangun di lahan seluas satu hektar dengan dana sekitar Rp 140 m. Dana ini merupakan sumbangan berbagai negara di dunia. Negara donatur tersebut bisa dilihat dari bendera-bendera yang tergantung diatas saat kita melewati jembatan harapan sepanjang 15 meter.
    Museum Tsunami Aceh ini terdiri dari empat lantai yang setiap lantainya. Setiap lantai memiliki makna tersendiri. Lantai pertamanya misalnya, dibiarkan terbuka sebagai representasi dari kolong Rumah Aceh. Kolong ini berfungsi sebagai jalur lalu lintas air jika sewaktu-waktu terjadi banjir atau tsunami.
    Museum sendiri memiliki keutuhan sebuah kapal raksasa. Konsepnyapun seperti gelombang laut yang membawa kita pada air laut yang naik ke daratan.
    Dari Hotel Grand Nanggroh Banda Aceh, Butuh waktu sekitar 40 menit untuk sampai ke Museum Tsunami. Derasnya hujan tak kunjung berhenti. Sebagian peserta tampak langsung berlari setelah keluar dari bis. Ada juga sebagaian menggunakan payung darurat seadanya. Namun tak bisa benar-benar terhindar dari hujan.


    Saya begitu penasaran dengan museum tsunami yang didesain oleh sang arsitek Ridwan Kamil jauh sebelum ia menjadi Walikota Bandung. Sejak peristiwa 2004 lalu saya selalu menyimpan rasa untuk mengetahui secara detil peristiwa tsunami. Setidaknya sebagai pengetahuan untuk diri sendiri. Bermodal kamera smartphone saya mulai mengikuti gerak pemandu.
    Perjalanan dimulai dari lorong yang gelap. Lorong ini mengantarkan pengunjung pada peristiwa tsunami saat itu. Di sisi kanan kiri lorong dengan jalan sempit ini terdapat air yang terus bergemuruh. Air ini sebagai simbol gemuruh air yang datang saat tsunami melanda. Ada getir terasa saat melewati lorong ini. Saya melihat kengerian juga di wajah-wajah rekan lain ketika kami sampai di ruang yang sudah terang.
    Suara air gemuruh baru hilang ketika masuk ke sebuah ruangan yang masih juga gelap. Di dalam ruangan ini terdapat 26 unit komputer. Sengaja 26 untuk mengingat tanggal peristiwa itu sendiri. Di dalam komputer terdapat sekitar 50 poto yang menanyangkan kengerian saat tsunami datang dan meninggalkan kengerian yang lebih.
    Ketika saya melihat ke kiri kanan, wajah-wajah tegang beberapa rekan saat menatap layar komputer. Tak bisa saya bayangkan jika saya berada di tengah-tengah musibah tsunami ini. Orang-orang panik, jasad-jasad bergeletakan, rumah-rumah hancur, kendaraan yang hanyut dibawa air. mata nanar melihat dari dekat peristiwa ini.
    Di monitor ini kita akan melihat ayah memeluk anak, ibu mencari anak, mereka menangis dan mereka benar-benar kehilangan orang-orang yang dicintai dalam sekejap.
    Usai menyaksikan poto-poto, kami dibawa ke ruangan yang berbentuk lorong bulat yang tinggi berbentuk cerobong setinggi 32 meter. Lorong ini diberi nama Sumur Doa. Di dindingnya terdapat nama-nama mereka yang telah meninggal dan hilang. Tak kurang dari 2000 nama tertulis di sana. Nama-nama warga yang menjadi korban gempa dan tsunami dahsyat. Sementara di atas terdapat kalimat Allah.

Sebagian nama-nama korban Tsunami Aceh/Poto Budi

    Dari lorong ini kami terus naik lantai dua, ke ruang pamer.  Di ruang pamer ini kita kembali dibawa pada peristiwa hari Minggu itu. Berbagai photo dan miniatur peristiwa tsunami ada di sini. Juga beberapa benda yang menjadi saksi bisu besarnya tsunami, seperti sebuah jam besar, sepeda, sepeda motor dipanjang di sini.


    Selanjutnya kami juga diajak untuk menonton film pendek peristiwa tsunami. Film berdurasi 10 menit ini diputar dalam sebuah bioskop mini dilantai tiga. Ruangan ini hanya bisa menampung sekitar 30 sampai 40 orang saja. Saya sampai berdiri agar tak lagi menunggu giliran berikutnya untuk bisa menonton.
    Sebelum film diputar, pengunjung diingatkan untuk tidak merekam film dalam bentuk apapun. Kami dihadapkan dengan dahsyatnya air yang menggulung semua yang ada di hadapannya saat film dimulai. Beberapa ibu-ibu yang ada di kursi depan tampak menyeka airmata mereka dengan tissu. Saya juga tak bisa menyembunyikan kesedihan saat melihat korban-korban bergelatakan dengan penutup seadanya.
    Meski 10 menit, film ini begitu menyentuh dan memberikan gambaran yang jelas bagaimana air menerjang Banda Aceh dan sekitarnya. Ada sesak tersisa dari bisokop ini.
    Dua jam sudah berada di sini. Dilantai atas lantai empat merupakan lantai terakhir. Sayangnya lantai ini tak bisa saya kunjungi. Lantai ini merupakan lantai untuk tempat evakuasi jika peristiwa sama terjadi. Lantai ini bisa menampung sekitar 4 ribu jiwa. Tapi saya berdoa semoga peristiwa serupa tak lagi terjadi. Biarlah Museum ini benar-benar menjadi museum yang menyimpan pahitnya musihab 12 tahun lalu.(**)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pangkalpinang Pusat Sejarah Penambangan Timah di Indonesia #pesonapangkalpinang

(Sebelum Deadline 26) Bermain Ayunan dan Tagihan