(Sebelum Deadline 15) Jodoh Memang Rahasia Tuhan




Kami, maksudnya aku dan istriku, menempuh pendidikan di kampus yang sama. Bahkan satu fakultas. Satu jurusan, dan satu program studi. Hanya beda angkatan saja. Aku angkatan 95. Istriku angkatan 98.


Di kampus, kami sebatas kenal. Say hello jika bertemu. Begitupun di luar kampus. Sebatas menegur. Tak lebih.

Pernah juga satu kelas. Itu karena aku terpaksa mendalami lagi beberapa mata kuliah. Jikapun harus bicara, tidak banyak. Alakadar saja.

Selama di kampus. Biasa-biasa saja. Dia dengan kehidupannya. Begitu juga denganku. Dia sibuk dengan urusan kuliah. Aku juga sibuk dengan urusan ormawa, teater, dan lain sebagainya.

Tapi namanya jodoh. Kami menikah. Tahun 2007. Bulan Oktober. Tanggal 20. Hari Sabtu. Pukul 10. Sudah 11 tahun lebih sebulan. Sudah punya dua bocah. Nabila dan Naufal.

Soal pertemuan. Ini masih jadi perdebatan. Baik aku maupun istriku. Bahkan orang-orang dekat kami masing-masing semasa kuliah dulu. Banyak menyebut kami CLBK. Padahal jika merunut sejarah yang namanya cinta lama bersemi kembali itu banyak persyaratannya. Sedang kami tak satupun memiliki syarat itu.

Pertemuan yang mengawali kami dan sampai menikah itu terjadi di tahun 2004. Tiga tahun setalah aku lulus. Di kampus tentunya. Di gedung Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Bahasa dan Seni, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia.

Sepele dan sederhana. Saat itu, dia sedang menunggu dosen pembimbing. Urusan skripsi. Aku ke kampus ada tugas dari pemimpin redaksi untuk mewawancarai pakar pendidikan. Kami bertemu. Tak ada janji sebelumnya. Di gedung itu, lantai tiga, kami sama-sama menunggu. Jarak aku dan dia hanya satu meter. Ngobrol seadanya.

Nah, pengantarnya cuma pena. Hanya gara-gara meminjam pena. Saat itu aku lupa mengantongi pena. Dia punya pena lebih dari satu. Lalu aku pinjam.

Aku lupa warna dan merk pena yang kupinjam saat itu. Yang jelas pena itu tak kukembalikan. Nah, gara-gara pena itulah yang selanjutnya membawa kami sering bertemu dan terus berkomunikasi.
Cerita dan komunikasi terus berjalan. Setelah wisuda di tahun yang sama. Dia pulang ke kampung halaman. Lahat. Jaraknya dari kotaku Bengkulu, sekitar 9 jam perjalanan jika naik bis antar kota antar provinsi. Praktis pertemuan kami lebih banyak diwakilkan oleh surat. Kesibukan pekerjaan membuat jarang tatap muka.

Bahkan tahun 2006. Dia pergi lebih jauh lagi. Dia, Istriku yang sekarang ini, terbang ke Bangka. Kemudian mendapat pekerjaan. Sebagai guru. Guru Bahasa Indonesia di salah satu SMP.

Terpaksa LDR. Tapi hanya setahun. Sebab tahun 2007 kami sepakat untuk mencoba peruntungan dengan berumah tangga. Hingga sekarang. Alhamdulillah.

Namanya jodoh. Kami menikah. Siapa yang salah tidak mengerti. Sebab seingatku, dia pernah dua kali tak menerimaku. Lebih tegasnya menolak. Bahkan menurut istriku empat kali. Ada beberapa tanda penolakan yang tak kuhitung. Dasar aku yang bebal. Maju terus. Pantang mundur dan surut ke belakang.

Akhirnya dia menyerah. Akhirnya dia menerima. Sepakat bersama tanpa paksaan dan menyesal di kemudian hari. Setelah menikah kami satu rumah. Satu kamar lagi. Ngontrak. Sama seperti dia saat kuliah dulu.
Namanya Jodoh. Siapa yang mengira. Meski berbeda. Tapi bisa bertemu dan cocok. Kami beda warna. Putih dan hitam tapi itulah jodoh. Cantik dan tak tampan itulah jodoh. Jodoh rahasia Tuhan. Kami tetap menikah. Hingga saat ini aku tetap suaminya, dan dia tetap istriku. Alhamdulillah.(**)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pangkalpinang Pusat Sejarah Penambangan Timah di Indonesia #pesonapangkalpinang

(Sebelum Deadline 26) Bermain Ayunan dan Tagihan